Ahli Pidana Universitas Jayabaya Jakarta Bersaksi di Sidang Praperadilan Guru Ponpes Bengkulu Utara

HUKUM, KASUS, KRIMINAL31 Dilihat
banner 468x60

BENGKULU UTARA PORTALPENA.COM  – Sidang praperadilan Oknum guru Ponpes ditetapkan tersangka kasus pencabulan oleh Polres Bengkulu Utara di Pengadilan Negeri (PN) Arga Makmur Kamis (24/9) berlanjut.

Kali ini mengahdirkan saksi ahli mantan Penyidik Polri, mantan assessor Penyidik, dan pensiun Polri tahun 2022, Dr. Yuspan Zalukhu, SH, MH, juga merupakan pengajar Hukum Pidana pada kampus Universitas Jayabaya Jakarta dan Sekolah Tinggi Theologi STTI Jakarta. Yuspan ada pada persidangan karena dihadirkan oleh tim kuasa hukum M-U yaitu LKBH Universitas Muhammadiyah selaku pemohon.

banner 336x280

Selain itu, Dr. Yuspan ini merupakan ahli dalam kasus Vina Cirebon.

Dalam persidangan, hakim tunggal Hilda Hilmiah Dimyati, SH, MH, memulai dengan menanyakan apakah saksi ahli mengenal M-U atau ada hubungan keluarga dengan tersangka.

“Tidak, Yang Mulia,” ucap Yuspan.

Berjalannya sidang, ditanyakan oleh penasehat hukum pemohon Dr Edy Sugiarto S.H M.H merupakan Ketua LKBH Universitas Muhammadiyah kepada ahli tentang batasan waktu penerimaan pemanggilan saksi yang harus diterima terlapor. Apakah boleh diberikan H-1 perintah hadir dalam pemanggilan polisi?

 

“bahwasannya surat pemanggilan polisi harusnya diberikan kepada terlapor dan diterima Terlapor paling lama 3×24 jam. Adapun pasal yang mengatur tentang surat panggilan polisi terdapat dalam pasal 227 ayat 1 KUHAP. Tentu jika pemanggilan saksi tidak sesuai dengan peraturan tersebut menjadikan proses penyidikan menjadi cacat formil, ” Jawab Yuspan menanggapi pertanyaan kuasa hukum M-U.

Ahli juga menyoroti tentang adanya beberapa kesalahan dalam surat menyurat yang dibuat Penyidik misalnya penomoran surat yang tidak lazim, lalu SPDP yang tidak diberikan Terlapor maksimal 7 hari sejak dibuat Surat Perintah Penyidikan.

“hal tersebut dapat mengurangi nilai keakuratan penyidikan yang endingnya dapat cacat formil / ketidaksahan penyidikan yang telah dilakukan. Karena memang praperadilan tidak berbicara pokok perkara tetapi menguji tentang syarat formil yang dilakukan oleh TERMOHON/ Kepolisian dalam menjalankan kinerjanya apakah sesuai dengan KUHAP atau Perkap Kapolri No 6 tahun 2019 tentang Pernyidikan Perkara Pidana, ” ujar saksi ahli.

Menurut saksi ahli ketika sudah dikeluarkan Surat Perintah penyidikan (Sprindik) maka penyidik atau termohon wajib mengeluarkan Surat Perintah dimulainya penyidikan (SPDP). Surat Perintah dimulainya penyidikan yang juga dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor atau korban dan terlapor dalam waktu paling lama 7 hari setelah diterbitkan Surat Perintah penyidikan karena proses tersebut sudah diatur dalam pasal 13 perkapolri Nomor 6 tahun 2019.

“Ketika penyidik tidak memberikan informasi dan menyampaikan haknya untuk menerima surat SPDP yang sudah diatur dan menjadi kewajiban yang harus dilakukan oleh penyidik maka hal tersebut merupakan cacat hukum, ” Tegas Yuspan.

Hak bagi terlapor untuk mempersiapkan dirinya Ketika menghadapi masalah hukum yang dilaporkan Pelapor merupakan Filosofi SPDP diberikan juga pada terlapor disamping kepada Jaksa / Pelapor dan kewajiban bagi penyidik untuk memberikan kepada terlapor merupakan implementasi dari putusan MK (mahkamah konstitusi) Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang pada pokoknya “Penyampaian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap Jaksa Penuntut Umum akan tetapi, juga terhadap Pelapor/Korban dan Terlapor” dan Peraturan Kapolri No 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada pasal 13 ayat (3): “setelah Surat Perintah Penyidikan Diterbitkan, dibuat SPDP”, dan Pasal 14 ayat (1): “SPDP sebagaimana dimakud dalam pasal13 ayat (3) dikirimkan kepada Penuntut Umum, Pelapor/Korban, dan Terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan”.

Ahli menyampaikan bahwasanya dalam proses penyelidikan membutuhkan suatu bukti lainnya salah satu yang sangat penting olah TKP untuk memperjelas atau memberikan titik terang dalam penetapan suatu tersangka. Karena tidak hanya pemeriksaan saksi korban saja untuk menemukan suatu bukti yang cukup tetapi harus ada hal lain salah satunya adalah melakukan olah TKP terhadap lokasi di mana terjadinya suatu tindak pidana termasuk memasang police line, mengamankan TKP, memeriksa saksi disekitar TKP dan Tindakan lain yang diatur Perkap Kapolri. Ketika itu tidak dilakukan maka nilai pembuktian dari saksi saksi korban / bukti surat visum yang dijadikan patokan menjadi kurang bernilai menyebabkan cacat hukum penyidikan tersebut.

Ahli melanjutkan atas pertanyaan Penasihat Hukum tentang proses dalam olah TKP yang dilakukan oleh penyidik sangat begitu singkat memang sebenarnya patut diapresiasi kinerja penyidik tersebut karena kecepatan waktunya tapi tetap bersandar pada efektifitas, situasi serta lingkungan TKP apakah saling bersesuaian dengan saksi yang sudah terperiksa dan apaakah tersangka juga dihadirkan dalam oleh TKP untuk lebih akuratnya penyelidikan.

Di akhir penyampaian ahli menyampaikan ketika suatu proses penyidikan yang tidak mengikuti aturan dalam Perkap nomor 6 tahun 2019 dan KUHAP merupakan cacat hukum karena semua proses itu saling berkaitan tentang sah atau tidaknya dalam proses penetapan Tersangka, penangkapan, dan penahanan seseorang menjadi tersangka. Jadi ketika proses tersebut tidak berjalan dengan sesuai prosedur yang sudah ditetapkan maka penetapan, penangkapan, penahanan sebagai tersangka menjadi tidak sah karena berbicara tentang hak asasi manusia. Dan lagi pada era sekarang, POLRI dituntut untuk terbuka dan professional dalam menangani perkara.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *