BENGKULU, PORTALPENA.COM – Konsorsium Bentang Alam Seblat mendesak Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Raja Juli Antoni segera mencabut Perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA). Karena dinilai bertahun-tahun telah lalai mengamankan kawasan hutan di wilayah konsesinya.
“Kita meminta Izin PT Anugrah Pratama Inspirasi (API) yang beroperasi di wilayah Provinsi Bengkulu segera dicabut karena dengan pencabutan izin beban akan berada di satu pundak yaitu Gubernur Bengkulu,” ungkap Ali Akbar, Ketua Kanopi Hijau Indonesia saat menggelar Konferensi Pers di Kapuas, Lingkar Barat, Senin, 02 Desember 2024.
Untuk diketahui PT API di wilayah Provinsi Bengkulu merupakan korporasi pemegang IUPHHK-HA seluas 41.988 hektar (ha) berdasarkan addendum IUPHHK-HA SK No: 3/1/IUPHHK-PB/PMDN/2017 tertanggal 3 April 2017.
Namun fakta di lapangan berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh Konsorsium Bentang Alam Seblat tahun 2024 menemukan, bahwa kerusakan hutan di areal konsesi PT API telah mencapai 14.183,48 ha. Hal ini tentu saja bertentangan dengan tanggung jawab PT API selaku pemegang izin usaha di kawasan tersebut.
“Sekarang ini dengan izin tidak dicabut, PT Api tidak mengusahakan sehingga wilayah itu tidak ditunggu dalm kurun waktu dua tahun ini. Akibatnya ada pihak yang memanfaatkan situasi itu dan rakyat mulai disalahkan,” sambung Ali Akbar.
Mengingat pernyataan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni yang menegaskan salah satu program prioritas Kementerian Kehutanan yaitu pencabutan izin pemanfaatan kawasan hutan yang lalai mengamankan wilayah hutan dalam areal izin perusahaan.
“Kami mengapresiasi pernyataan Raja Juli untuk mencabut izin-izin perusahaan dalam kawasan hutan. Namun kami meragukan keberaniannya untuk mengoperasikan pernyataan tersebut. Jika memang benar, maka mencabut IUPHHKA PT API adalah tindakan yang pantas untuk diutamakan” kata Ali.
Pada kesempatan yang sama, Iswadi, Ketua Yayasan Lingkar Inisiatif Indonesia yang juga merupakan Koordinator Program Konsorsium Bentang Seblat menyatakan bahwa dari 30 kali patroli kolaboratif yang telah dilaksanakan di wilayah KEE koridor gajah, ditemukan 114 kasus kejahatan kehutanan dan satwa. Modus operandi dari kejahatan ini adalah melakukan penebangan secara sembarangan atau yang lebih dikenal dengan istilah “tebang tumbur”.
“Lalu lahan ini ditinggalkan sejenak. Jika tidak ada respon dari penegak hukum maka selanjutnya areal yang sudah ditebang ini akan ditanam sawit. Ketika sawit mulai tumbuh barulah areal ini dibersihkan,” kata Iswadi.
Bahkan konsorsium telah mengungkap dugaan jual beli lahan di kawasan hutan ini yang diduga melibatkan aparat penegak hukum dan pemerintahan desa. Di kalangan masyarakat luas beredar informasi tentang harga pasaran kawasan hutan yang telah ditebang kayunya dan siap ditanami sawit dijual Rp10 hingga Rp15 juta per ha. Perambahan dan penguasaan lahan oleh pihak lain di areal konsesi ini juga telah dilaporkan ke penegak hukum.
Lebih lanjut, forum pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) koridor gajah Bentang Seblat telah menetapkan wilayah seluas 80.987 hektar di Bentang Seblat sebagai jalur konektivitas gajah Sumatera, termasuk di dalamnya seluas 23.279 ha wilayah konsesi PT API. Kesepakatan ini tertuang dalam SK Gubernur Bengkulu Nomor S.497.DLHK.2017 pada 22 Desember 2017 selaku Pelindung Forum KEE dan ditandatangani juga oleh PT API selaku Anggota Forum KEE.
Disisi lain, Dosen Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu, Gunggung Senoaji, selaku Konsultan Program Konsorsium Bentang Seblat menyatakan bahwa sebagian lahan di Bentang Seblat, sekitar 41.988 ha, merupakan lahan kelola PT API, perusahaan nasional yang bergerak dibidang pengadaan kayu gelondongan dan kayu gergajian, dalam bentuk IUPHHKA.
“Sesuai fungsinya, kawasan hutan yang menjadi real kerja PT. API ini adalah Hutan Produksi Terbatas (HPT) Lebong Kandis dan Hutan Produksi (HP) Air Rami. Walaupun fungsinya sebagai hutan produksi, lahan tersebut merupakan habitat beberapa satwa liar yang dilindungi, yakni harimau, gajah, tapir, beruang, dan burung rangkong. Sebagai perusahaan logging, seharusnya perusahaan ini mempunyai kewajiban mengelola kawasannya dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), yang salah satu kewajibannya adalah menanam arealnya yang berupa lahan terbuka dan mengamankan kawasannya dari gangguan,” kata Gunggung.
Hasil kajian tutupan lahan tahun 2024 yang kami lakukan pada wilayah izin PT API, seluas 14.183,48 ha tidak lagi berhutan. Area tersebut terdiri dari semak belukar 6.577,59 ha, perkebunan sawit dalam hutan 5.432,86 ha, dan lahan terbuka 2.173,03 ha.
Kondisi ini menunjukkan bahwa tidak ada pelaksanaan kewajiban reboisasi (penanaman) pada lahan terbuka dan tidak ada kegiatan pengamanan areal oleh perusahaan, sehingga lebih dari 5.000 ha lahannya digarap masyarakat jadi kebun sawit.
“Dari sisi ekonomis, keberadaan perusahaan IUPHHK ini sudah tidak menguntungkan, terlihat dari performa perusahaan yang sudah tidak berproduksi dan aktivitas perusahaan yang ala kadarnya. Opsi terbaik bagi areal ini adalah perubahan fungsi dan peruntukan kawasan dari hutan produksi menjadi hutan konservasi. Mekanismenya dapat dilakukan dengan pencabutan izin IUPHHKA dan diikuti merubah fungsinya menjadi hutan konservasi Suaka Marga Satwa. Jika hanya pencabutan izin IUPHHKA tanpa ada perubahan fungsi kawasan, hanya akan menyediakan lahan hutan yang status quo, tidak ada yang mengelola, dan ini akan berpotensi semakin luasnya lahan perambahan,” kata Gunggung.
Secara data rentetan waktu 2022-2024, konsorsium menemukan semakin berkurangnya tutupan hutan dan semakin meluasnya perkebunan sawit pada kawasan hutan produksi wilayah izin PT API. Dalam kurun waktu 2022-2024, perkebunan sawit dalam konsesi PT API tersebut mencapai 967,16 ha.
Berdasarkan analisis tutupan hutan yang dilakukan oleh Konsorsium Bentang Alam Seblat pada 2023, di wilayah kerja Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) koridor gajah seluas 80.987 ha, diketahui seluas 30.514,85 ha (38%) tidak lagi berhutan. Wilayah tersebut telah terkonversi menjadi semak belukar 7.985,38 ha (26%), perkebunan PT Alno 5.449,78 ha (18%), pertanian dalam hutan berupa perkebunan sawit 15.010,77 ha (49%) dan lahan terbuka 2.068,91 ha (7%).
“Kawasan hutan produksi yang telah dibebani izin PT API terlihat compang camping dan ditemukan perkebunan sawit di areal konsesi mencapai 5,4 ribu hektar dan terus meluas setiap tahunnya. Ini menandakan tidak berjalannya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh PT API, maka sudah sepatutnya PT API masuk daftar perusahaan pemegang izin PBPH-Ha yang akan dicabut oleh Menteri Kehutanan,” kata Direktur Genesis Bengkulu, Egi Saputra.
Bentang Seblat, yang meliputi area seluas 323 ribu hektare, bukan hanya habitat terakhir gajah, tetapi juga memiliki fungsi penting sebagai penyedia layanan alam bagi kehidupan masyarakat di Kecamatan Putri Hijau dan Marga Sakti Seblat, terutama sebagai sumber air. Hancurnya fungsi ekologis kawasan ini akan memberikan pengaruh multi efek.
Hilangnya layanan ekosistem terutama sebagai wilayah tangkapan air, hancurnya keanekaragaman hayati akibat punahnya satwa gajah, serta potensi bencana ekologis akibat hilangnya daya dukung lingkungan putusnya rantai makananan akibat punahnya satwa gajah akan berdampak kepada hilangnya keseimbangan ekosistem secara keseluruhan.