Dalam menghadapi Pemilu Serentak 2024, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bengkulu mengajak seluruh elemen masyarakat untuk memilih pemimpin yang peduli terhadap lingkungan hidup. Menurut Direktur Esekutif WALHI Bengkulu, Abdullah Ibrahim Ritonga, prinsip pilah-pilih-pulih menjadi landasan utama dalam proses pemilihan.
“Pilah ini untuk Profiling baik calon legislatif atau pun Eksikutif artinya pilah ini kita harus memilah calon yang tidak bermasalah dengan lingkungan, kemudian pilih itu merupakan panduan masyarakat, sedangkan pulih kita tetap mengawal demokrasi untuk pulihkan Bengkulu,” ungkap Abdullah Ibrahim Ritonga.
Menurutnya, telusuri visi-misi, program, dan agenda setiap kandidat adalah kewajiban bagi setiap pemilih yang peduli terhadap nasib lingkungan. Komitmen untuk tidak terjebak pada janji-janji kosong dan praktik politik transaksional juga menjadi bagian penting dalam memilih pemimpin di masa mendatang.
“Para Pemilih untuk tidak terjebak pada janji yang tidak ada kepastian tentang lingkungan,” tambahnya.
Provinsi Bengkulu dengan lebih dari 1,4 juta pemilih memiliki peran yang penting dalam menentukan arah kebijakan lingkungan di masa depan. Keterlibatan aktif dari masyarakat dalam memilih pemimpin yang berkomitmen untuk melindungi lingkungan hidup menjadi kunci dalam upaya mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi semua.
Abdullah Ibrahim Ritonga juga menyuarakan keprihatinannya akan kondisi lingkungan hidup di Provinsi Bengkulu. “Setiap orang berhak atas pendidikan lingkungan, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.”
Hak atas lingkungan yang baik dan sehat jelas tercantum dalam UUD NRI 1945 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Namun, realitasnya tidak sejalan dengan idealisme konstitusi tersebut. Kasus kerusakan lingkungan dan konflik atas sumber daya alam di Provinsi Bengkulu menjadi bukti bahwa hak-hak rakyat atas lingkungan hidup masih sering dilanggar.
Industri ekstraktif menjadi salah satu penyumbang utama kerusakan lingkungan dan konflik di wilayah Bengkulu. Sistem politik dan ekonomi yang cenderung ekstraktif dan eksploitatif memperburuk krisis ekologis, ekonomi, dan sosial.
Sebagai tambahan Hak atas lingkungan yang baik dan sehat jelas tercantum dalam UUD NRI 1945 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Namun, realitasnya tidak sejalan dengan idealisme konstitusi tersebut. Kasus kerusakan lingkungan dan konflik atas sumber daya alam di Provinsi Bengkulu menjadi bukti bahwa hak-hak rakyat atas lingkungan hidup masih sering dilanggar.
Industri ekstraktif menjadi salah satu penyumbang utama kerusakan lingkungan dan konflik di wilayah Bengkulu. Sistem politik dan ekonomi yang cenderung ekstraktif dan eksploitatif memperburuk krisis ekologis, ekonomi, dan sosial. Salah satu contoh nyata adalah disahkannya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bengkulu Tahun 2023–2043. Penyusutan luas kawasan hutan yang awalnya diusulkan sebesar 122 ribu hektar menjadi 22.833 hektar oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menunjukkan kecenderungan pemerintah untuk membuka pintu bagi investasi yang merampas hak-hak rakyat atas wilayah kelola.
Di sektor agraria, penyelesaian konflik agraria masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Krisis iklim juga mengancam wilayah pesisir Bengkulu dengan abrasi yang semakin parah. Pertambangan di wilayah pesisir tidak hanya mempercepat laju abrasi, tetapi juga mengancam mata pencaharian nelayan tradisional.
Komentar